Wednesday, January 30, 2013

Eksotika Bromo dalam Balutan Budaya Suku Tengger



Bagai dua mata koin tak terpisahkan. Bromo hadir dalam keeksotikan alamnya. Pun masyarakat Tengger punya kekuatan dengan kearifan lokalnya.


****             
Keindahan alam Gunung Bromo serasa membawa kita menerobos sekat-sekat masa silam yang nyaris terlupakan. Tetapi, orang-orang Tengger punya cara sendiri untuk melestarikan warisan leluhur.
Meski jaman telah berubah, dan ribuan hingga jutaan pendatang berdatangan, namun sikap keaslian warganya tetap utuh; ramah, jujur dan sederhana.

Begitu kuatnya kehidupan spriritual suku ini, sehingga tidak gampang terjadi pergeseran nilai-nilai instrumental. Nilai-nilai budaya itulah yang menjadikan kawasan Bromo sebagai agenda tujuan wisata masyarakat dunia.

Bromo dan Suku Tengger, ibarat dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Maklum saja, sejak terjadinya asimilasi budaya (dari Hindu ke Islam), banyak penganut Hindu Majapahit memilih bermukim ke Bali dan Banyuwangi (Suku Osing). Sisanya, tentu saja ke Tengger. Di sini mereka membentuk sebuah koloni baru. Dan, Bromo pun masuk dalam hitungan mereka. Bromo milik mereka.

Dengan masuknya budaya lama, keindahan alam gunung yang terletak di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu tetap terjaga kelestariannya. Beberapa orang malah beranggapan, Bromo memiliki daya tarik magis cukup kuat. Unsur itu ada karena adat istiadat dan nilai-nilai budaya warisan leluhur yang masih dipegang erat oleh masyarakat Tengger.

Sebagai buffer zone (penyangga kawasan), Suku Tengger telah menjaga dan melestarikan alam dengan sebuah kearifan lokal jauh sebelum ditetapkannya tempat tersebut sebagai Daerah Taman Nasional Bromo-Tengger- Semeru (NTBS) pada tahun 1982.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kabupaten Probolinggo, Tutug Edi Utomo berujar, begitu eratnya hubungan antara masyarakat Tengger dengan penunggu Gunung Bromo, membuat segala pengaruh dari luar bisa diterima begitu saja. Semua harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ketua adat suku Tengger, atau biasa disebut Dukun.
“Budaya dan kearifan lokal seperti benteng. Tidak gampang kita mau melakukan sesuatu di wilayah Tengger. Harus seizin penunggu Bromo melalui konsultasi (komunikasi) melalui dukun.  Bila mendapat izin kita boleh mengadakan atau membuat sesuatu di sana. Tapi kalau ditolak, kita tidak boleh memaksa. Namanya sebuah kepercayan, apapun kita harus hormati,” katanya.

Pasca erupsi 2011 lalu, lanjut Tutug, Pemerintah Kabupaten Probolingo berniat melakukan pembenahan fasilitas di kawasan wisata Bromo yang mengalami keruskan. Namun karena terkendala izin, revitalisasi itu batal direaliasikan. “Segala sesuatu harus melalui izin, sekalipun itu menggelar resepsi pernikahan atau membangun rumah,” ungkapnya.

Berangkat dari menyatunnya alam dan budaya itulah, pemerintah mengambil peran untuk menyelamatkan dan memelihara kearifan lokal tersebut dengan menetapkan Tengger sebagai kawasan Taman Nasional.
Penetapan Bromo Tengger Semeru menjadi taman nasional bermakna, bahwa budaya masyarakat Tengger perlu dilestarikan dan dikembangkan menjadi  lebih sempurna, terutama adat istiadat dan nilai-nilai budayanya yang relevan dengan kemajuan zaman.

Dengan masuknya wisatawan ke Tengger, tidak mustahil akan terjadi pergeseran nilai nilai instrumental. Namun, apabila terus diadakan pembinaan sikap mental dengan tetap berpegang kepada nilai tradisional yang relevan, maka pergeseran nilai-nilai instrumental itu akan dapat dicegah. “Sekaligus dapat mempertahankan sifat keasliannya,” tutur Tutug.

Banyak pihak menyimpulkan, bahwa selama ini yang mampu menjaga keasrian kawasan nasional Bromo-Semeru bukanlah perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Namun sejatinya, yang mampu memberi perlindungan justru kearifan lokal masyarakat Tengger itu sendiri.



KEBUDAYAAN SUKU TENGGER 



Kasndo adalah upacara tahunan yang selalu diselenggarakan oleh masyarakat asli Tengger. Upacara ini selalu diadakan setiap bulan Desember atau Januari. Kasodo atau Kasada merupakan upacara ucap syukur yang dilakukan oleh masyarakat Tengger kepada Sang Hyang Widi. Dengan adanya upacara ini, masyarakat sekitar meminta panen yang melimpah dan kesembuhan untuk segala macam penyakit. Di sisi lain, mereka memberikan persembahan kepada dewa yang dilempar ke kawah Gunung Bromo.

Orang-orang yang memberikan persembahan tersebut harus turun ke tebing dan sekitar kawah untuk menangkap persembahan dari bawah, hal ini adalah simbol dari sebuah berkah dari Yang Mahakuasa.



Perebutan persembahan ini pula menjadi daya tarik interaktif, yang menantang dan menakutkan, karena cukup bahaya jika terpeleset dan jatuh ke dalam kawah.

Nama : Suci Nur Jannah
Absen : 30
Kelas : XI IPA 3
http://www.eastjava.com/books/bromo/ina/tourism_cultural.html
http://www.lensaindonesia.com/2012/09/18/eksotika-bromo-dalam-balutan-suku-tengger.html

No comments:

Post a Comment